Pages

Senin, 01 Oktober 2012

Hari-Hari, Jam-jam, Detik Demi Detik Pengalaman Saya Melahirkan Hanan (Part 3, Selesai)

Sebelumnya di Part 1 dan Part 2

#Selasa, 18 September 2012 di ruang operasi, mendengar tangisan Hanan

Dingin, itulah kesan saya begitu memasuki ruang operasi. Saya masih sempat melihat ke sekeliling ruangan. Cukup luas, berbagai peralatan yang hanya pernah saya lihat di TV kini berada di dekat saya. Ada lampu besar diatas, di dekat saya. Saya melihat ada 4 perawat laki-laki dan 2 perawat/bidan perempuan sedang mempersiapkan peralatan, sibuk dan cekatan. Ahh . . . saya tak ingin melihatnya, sementara kontraksi yang saya rasakan semakin nyeri. Saya ingin segera dibius. Ingin semua cepat selesai. Tubuh saya dipindah ke meja operasi, saya belum melihat ada dokter yang datang, oh ada 1, sepertinya dokter anestesi. Seorang perawat memasang topi operasi di kepala saya dan tensimeter otomatis di lengan tangan kanan, tangan kiri saya sudah terpasang infuse. Perawat memasang selang oksigen di hidung saya. Saya dimiringkan ke kiri. Saya mendengar suara, dibuat tidur yaa bu . . . silahkan berdoa. Yah inilah saatnya. Saya masih melihat seorang perawat memasukkan suntikan lewat selang infuse. Bismillah . . . saya berdoa dan terus berdoa, detik-detik kemudian saya merasa ngantuk berat, berat sekali. Seterusnya saya seperti diputar-putar di tempat penuh cahaya, saat itu saya merasa mulut saya masih berdzikir…entah tak yakin dengan apa yang saya katakan.

Perlahan kesadaran saya kembali, saya bisa melihat lagi. Kini tepat di depan saya, di atas dada ada penutup kain berwarna hijau tua. Sehingga tak bisa melihat tindakan operasi. Mendengar perintah dari dokter “Kakinya diangkat bu . . .” ah bagaimana bisa mengangkatnya, rasanya separuh badan saya ke bawah begitu kebas . . . seperti hilang. Fase berikutnya, saya yakin operasi sudah dimulai, seperti mimpi . . . begitu cepat. Saya tak tersadar sepenuhnya, namun masih bisa mendengarkan suara. Saya juga terus berdzikir, menggerakkan bibir dengan kalimat-kalimat memujiNya, dengan ayat-ayat yang saya ingat untuk memohon kemudahan dan perlindunganNya. Saya juga masih bisa menggerakkan jemari tangan kanan, mengikuti irama kalimat tasbih bibir saya. Sesekali saya merasa mual, sehingga saya berkata pada perawat “saya mual mbak . . . saya mual mbak” saat perawat memiringkan kepala saya ke kiri, saya merasa muntah di tempat yang disediakan.

Sampai akhirnya sayup saya mendengar suara tangisan bayi yang cukup keras. Saya tersadar, itu tangisan bayi saya. Saya langsung memanggilnya . . . Hanan . . .Hanan . . . Hanan. Alhamdulillah, saya bersyukur-bersyukur sekali. Allah Yaa Rabbul Izzati . . . Allah Yaa Rabbul Izzati. Sebentar kemudian seorang perawat mendekat ke dekat kepala saya sebelah kiri, “Ini bayinya bu” Saya terkejut, perawat tersebut menciumkan bibir saya ke pipi Hanan, sekali, dua kali, lalu mendekatkan mulut mungil hanan ke dada saya. Walau terasa sekilas, namun saya bisa melihat kulitnya putih pucat, sangat pucat. Barangkali karena ruang operasi yang sangat dingin.  Yaa dia Hanan, putri saya. Lalu perawat membawa bayi saya pergi, keluar ruang operasi.

Tahap berikutnya terasa begitu cepat. Tiba-tiba saya sudah didorong pakai dark bar dibawa ke ruang ICU. Operasi telah selesai, Alhamdulillah. Begitu memasuki ruang ICU, dari pembatas kaca saya melihat suami berdiri di luar, saya melambaikan tangan. Sebentar kemudian dia masuk ke bilik ruang ICU saya. Begitu melihatnya, saya menangis lagi. Ingin sekali memeluknya, menumpahkan semua rasa di hati saya. Dia mendekat, mencium kening saya. Lalu menunjukkan foto Hanan di HPnya. Subhanallah, Hanan lucu sekali. Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah. Begitu besar Karunia yang telah Engkau berikan. Saya melihat jam di HP saya yang dibawakan suami, pukul 13.30.

Selama di ICU saya tak bisa tidur, infuse dan oksigen masih terpasang. Indikasi saya boleh dibawa ke ruang perawatan adalah kalau kedua kaki saya bisa digerakkan. Saya berusaha keras untuk menggerakkan, namun pengaruh anestesi membuat saya harus bersabar menunggunya perlahan hilang. Pukul 19.30, saya merasa lebih segar setelah perawat mengelap tubuh saya dengan waslap basah dan mengganti kain, baju, dan jilbab saya. 15 menit kemudian saya dipindahkan ke ruang perawatan (ditahap ini saya juga merasakan kemudahan dari Allah, saya dan suami mendapatkan kamar perawatan yang kami pesan. Padahal saat masuk registrasi pagi tadi, kami masuk waiting list ke 5 untuk menempatinya. Alhamdulillah). Di ruang perawatan saya lebih tenang, ada suami juga ada mertua saya. Namun semalaman hampir saya tak tidur, menahan rasa sebah diperut, menahan haus dan lapar yang sangat. Saya boleh makan baru esok pagi. Dan yang jelas saya teringat terus sama Hanan yang ditempatkan di kamar bayi. Takut kalau dia rewel, menangis, dan kedinginan. Malam ini memang lain, malam sebelum-sebelumnya saya merasakan tendangan. Ahhh . . . tak terasa 40 minggu dia menempati rahim saya, kini dia sudah menjadi individu yang terlepas dari tubuh saya. Maha Suci Allah . . .

#Rabu, 19 September 2012

Hari ini saya lebih semangat, pengaruh anestesi sudah sepenuhnya hilang. Pagi hari saya sudah segar, walaupun saya belum mampu duduk apalagi berdiri sendiri. Saya makan bubur disuapi suami dan minum teh hangat. Kadang saya merasakan kontraksi yang begitu mulas dan nyeri, obat yang diberikan perawat tadi memang untuk membuat rahim kontraksi. Ditambah jahitan operasi yang sakit jika saya bergerak. Barangkali ini nih tidak enaknya operasi Caesar. Kalau melahirkan normal, hari ini melahirkan hari itu sudah bisa berjalan meskipun pelan, besoknya sudah lancar^^.

Siang harinya, setelah dr.Ardian visit saya lebih semangat. Karena beliau mengatakan boleh melihat bayi saya di ruang bayi. Tentunya dengan syarat bisa berdiri dan berjalan. Tak sabar saya menunggu sore. Infus dan kateter sudah di lepas, itu artinya mudah bagi saya untuk mencoba duduk, berdiri, ataupun berjalan. Pada awalnya, suami khawatir saya tak mampu berdiri, padahal saya sudah nangis-nangis ingin melihat Hanan. Suami membawakan saya kursi roda. Karena sangat semangat dan keyakinan saya, begitu suami mengulurkan tangan, perlahan saya berdiri. Dengan sedikit menahan nyeri luka jahitan. Setapak demi setapak melangkah dipegangi suami, menuju ke kursi roda.

Sampai di ruang bayi, saya harus bisa jalan sendiri. Karena suami tak boleh masuk ke ruang bayi, beliau hanya boleh melihat dari luar, jendela kaca. Memasuki ruang bayi melangkah kecil-kecil, pelan sekali, sambil menahan nyeri luka jahitan. Di ruang itu hanya ada 1 box yang berisi bayi. Tertulis di situ “Bayi Ny.Dwi Yulianti, 18 September 2012, pukul 12.55, BB 2700gram, TB 49cm, lingkar kepala 33 cm”. Ahh . . . dia Hanan, tidur begitu pulasnya. Saya semakin mendekat. Menyentuh pipinya, lekat memandang wajahnya. Ini bunda dek, air mata saya tak terbendung lagi. Saya jatuh cinta padanya. Ingin sekali menggendongnya, namun saya belum mampu. Akhirnya saya hanya duduk di kursi di sebelah boxnya, mengajaknya bicara. Suami saya yang melihat di kaca dari luar, tersenyum melihat kami. 

Terima kasih yaa Rabb, alhamdulillahirobbil’alamin. Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?


pertemuan dengan Hanan di ruang bayi









6 komentar:

  1. Masya Allah..terharu mbaak..mata saya sudah basa ini..perjuangan yang luar biasa, jadi kangen ibuku..

    Semoga dek hanan jadi anak yang sholehah, berbakti pada orang tua dan agamanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin.
      Memang benar dek, setelah hamil dan melahirkan, ada Hanan, saya jadi sangat paham betapa luar biasanya perjuangan ibu kita.

      Hapus
  2. alhamdulillah lahir dengan selamat. Pastinya banyak membaca mengenai tips menjelang persalinan ya mbak?

    BalasHapus
  3. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus
  4. Cerita yang sangat detail, membuat saya terhanyut, dan meneteskan air mata.. Saya sangat menghayati cerita bunda, karena saya juga sedang menanti persalinan.. Hpl besok pagi tapi belum kunjung merasakan tanda-tanda akan melahirkan.. Terima kasih untuk ceritanya bunda Dwi Yulantii..

    BalasHapus