Pages

Selasa, 21 April 2009

Kartini's Day


"Perlawanan itu menyenangkan, sebab memacu ketabahan.

Pengingkaran bagus sekali,

sebab menumbuhkan pengakuan dalam hidup.

Penolakan memberi kesukaan, sebab menumbuhkan harga diri."

(R.A Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang)


Foto-foto tersebut diatas merupakan foto yang diambil ketika peringatan Hari Kartini tahun lalu di tempat saya mengajar, SDSN Rejosari. Saat itu cukup meriah, anak-anak memakai pakaian adat Jawa sedangkan guru-gurunya cukup memakai pakaian Batik seragam. Lumayan menuai protes dari anak-anak juga sih . . .^_^. Berbaris rapi di halaman untuk melakukan upacara singkat, berpuisi dan menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” karya WR. Supratman dengan penuh semangat. Koridor sekolah pun disulap sebagai catwalk, lalu diakhiri dengan naik kereta unyil berkeliling di jalan sekitar SD . . . ehm . . . menyenangkan.


Tapi tidak untuk tahun ini, tepatnya hari ini 21 April 2009. Pagi ini biasa saja, seperti hari-hari biasa. Tidak ada wajah-wajah ceria yang tersipu malu karena kostum yang dipakai, tidak ada orang tua yang hilir mudik bawa kamera. Apa pasal?? Peringatan seperti tahun lalu di sekolah tempat saya mengajar memang hanya diprogramkan tiga tahun sekali, apalagi hari kartini tahun ini bertepatan dengan ujian praktek bagi kelas enam yang berlangsung satu minggu.


Walaupun demikian tetap ada ceremony kecil pagi tadi. Usai senam pagi di halaman, anak-anak tak beranjak dari tempat berdiri . . . ada sedikit pengarahan dan pidato singkat dari seorang guru lalu dengan khidmat menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini. Yach . . . begitu saja, sangat sederhana akan tetapi anak-anak sangat antusias mengikutinya. Setidaknya mengingatkan dan menanamkan semangat perjuangan bagi mereka. Untuk menghargai jasa orang-orang terdahulu yang telah berjuang untuk kebaikan negara tercinta.


InsyaAllah kita semua tahu siapa RA. Kartini. Gadis (pada saat itu, red) putri seorang Bupati Rembang yang lahir pada tanggal 21 April 1879. Yang mempunyai semangat juang untuk pendidikan kaumnya. Tahu sendirilah kalau zaman itu yang boleh sekolah hanya laki-laki. Sedangkan kaum wanita cukup tinggal di rumah, tidak mengenyam pendidikan, sangat terbatas kesempatannya untuk Thalabul Ilmi. Padahal menuntut ilmu adalah adalah tuntutan agama. ”Siapa yang berjalan di jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke Surga” (HR. Muslim).


Tokoh perempuan Indonesia yang pertama memperjuangkan kaumnya. RA. Kartini bercita-cita ingin memajukan kaum perempuan melalui pendidikan. Karena adat yang harus dijalankannya saat itu, keinginan untuk melanjutkan sekolah tidak diizinkan oleh orang tuanya. Kartini harus menjalani masa pingitan hingga waktunya untuk menikah. Dengan kondisi yang memenjarakannya, RA. Kartini tetap melakukan perlawanan. Salah satu kegemaran RA. Kartini adalah membaca, baik buku maupun majalah. Diantaranya adalah buku Max Havelar karya Douwes Dekker, seorang Belanda yang menentang culture stelsel (sistem tanam paksa). Buku-buku yang dibacanya membuatnya semakin bersemangat untuk memperjuangkan hak kaumnya yang sangat tertinggal dari wanita bangsa lain. Beliau juga sering menulis surat untuk sahabat-sahabatnya di Belanda, diskusi tertulis itu adalah buah pikiran jua impiannya untuk masa depan kaum wanita di negerinya. Pada akhirnya surat-suratnya tersebut dibukukab dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.


Setelah menikah, dengan dukungan suaminya (Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodingrat), RA. Kartini mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah perempuan yang pertama di Indonesia. Memberikan pendidikan secara gratis kepada kaum perempuan. Tetapi RA. Kartini tidak punya banyak waktu untuk sempat menikmati hasil perjuangannya. Karena Allah memanggilnya dalam usia 25 tahun, setelah melahirkan putra pertamanya. Dan sebagai penghargaan bagi beliau, pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional dan setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini.


Begitulah RA. Kartini, memperjuangkan kaumnya yang terhimpit oleh budaya dan istilah pingitan. Karena Islam jua membolehkan kaum wanita beraktivitas di pentas kehidupan. Kita bisa melihat dari kisah para sahabiat masa Rasulullah. Sepak terjang Bunda Khadijah, seorang perempuan pedagang yang mulia dan kaya raya. Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim yang membantu pasukan di medan perang. Fatimah az Zahra yang membantu pengobatan di medan perang dan masih banyak lagi . . .

Sabtu, 04 April 2009

Dewasa

Bahwa dewasa dalam segala bermakna mengerti sesama,
menebar empati pada derita.

Bahwa dewasa berarti memberi tanpa berharap.

Bahwa dewasa menempatkan kepentingan orang lain melebihi kepentingan sendiri.

Kamis, 02 April 2009

Amanah Bekerja




“Sesungguhnya Allah mencintai seorang di antara kamu yang ketika bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya”

(HR. Thabrani)

Dalam waktu yang hampir bersamaan di tahun ini, ada dua orang di SD tempat saya mengajar purna tugas atau pensiun. Per 1 Januari tahun ini, yang pensiun adalah pesuruh dan penjaga sekolah. Sosok itu . . . saya dan teman-teman sering memanggilnya Mbah Wadji. Sosok lelaki baya yang humoris, begitu sering saya tersenyum sampai terpingkal-pingkal demi mendengar leluconnya. Kemudian per 1 April 2009, Bu Pan (begitu kami menyebutnya) guru kelas 3 yang sangat tegas juga telah menerima SK Pensiun. Mereka berdua, Mbah Wadji dan Bu Pan adalah dua orang yang telah lulus dalam melaksanakan amanah kerjanya . . . begitu kata rekan kerja saya lainnya. Lulus karena telah lebih dari 30 tahun berjibaku menunaikan tugas-tugas dan rutinitas.


Melihat sosok-sosok beliau, bagi saya pribadi dapat dijadikan sebagai contoh. Semangat kerja dan semangat pengabdiannya yang cukup kental. Bagi beliau-beliau, mungkin pekerjaan bukan semata-mata kesibukan, pekerjaan rutin, lalu mendapatkan sekian rupiah gaji. Lebih dari itu, ada makna dan bobot sendiri ketika bergerak. Mbah Wadji yang baya itu, habis subuh sudah bergelut dengan sapu-sapunya (ketika belum pensiun, red) dimana ketika saya nyampe sekolah jam setengah enam pagi untuk ngeles kelas enam . . . beliau telah menyelesaikan lebih dari separuh membersihkan halaman sekolah yang tidak bisa dibilang sempit. Belum lagi gak tahu mengapa pohon-pohon mangga itu hobby banget menggugurkan daunnya. Lalu ketika saya menyapanya, beliau membalasnya dengan senyum dan takzim pula. Bu Pan juga demikian di usianya yang 60 tahun, tetap saja begitu energik. Sekitar 3 tahun bekerja bersama beliau, tak pernah sekalipun saya mendapatinya sakit yang mengkhawatirkan. Mungkin sekedar flu karena perubahan cuaca. Beliau termasuk orang yang keras, begitu teguh. Juga suaranya cukup lantang. Pernah beberapa kali saya terlonjak kaget karena Bu Pan berteriak membentak muridnya (maklum guru kuno yang klasik, jadi acara bentakan masih trend), sementara saat itu saya sedang mengajar di kelas 4 yang memang letak kelasnya berdekatan. Satu lagi, beliau sosok yang ikhlas..


Mereka memuliakan pekerjaannya, memegang amanah dengan sebaik-baiknya. Hendaknya masing-masing dari kita juga begitu adanya, pekerjaan yang telah kita dapatkan adalah sebentuk riski dan amanah pula. Dengan menyakini bahwa setiap pekerjaan akan dibalas oleh Allah di Akhirat kelak, maka kita didorong untuk bisa menjalankan amanah ini denga tanggung jawab. Pun Allah telah berjanji . . .

”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan . . .” (QS. Ali Imran: 195).


Pernah saya membaca sebuah artikel di majalah Tarbawi, tentang memaknai pekerjaan.

Pemaknaan pertama, bekerja itu adalah amanah dan tanggung jawab.

Yah . . . saya rasa begitu, kita tidak boleh asal-asalan dalam bekerja. Sudah banyak sekali contoh musibah yang terjadi karena kelalaian dalam bekerja. Kemudian bagi kita yang muslim, Islam telah mengabarkan kepada kita bahwa setiap sesuatu yang kita lakukan ada catatannya dan ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8)


Pemaknaan kedua, bekerja sebagai penyempurna ibadah kepada Allah.

Hendaknya perilaku ikhlas tidak akan pernah lekang menyertai kita dalam bekerja. Karena bekerja merupakan bagian dari ibadah. Dan sempurnanya ibadah yang kita lakukan jika disertai sikap ikhlas.


Berikutnya, bekerja sebagai ungkapan rasa syukur. Karena bekerja merupakan implementasi rasa syukur terhadap karunia Allah yang tak terhitung. Karena salah satu konteks syukur yang sungguh-sungguh adalah dengan seluruh anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan, tidak sekedar di hati dan lisan saja. Allah berfirman dalam QS. Saba’: 13

Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur”


Makna keempat, bekerja sebagai bentuk cinta dan kasih sayang. Satu contoh keteguhan seorang suami yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena didasari rasa kasih dan sayang mendalam terhadap isteri dan anaknya. Begitu pula sebaliknya, seoarang istri yang rela berdiam diri di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang berjibun adalah karena nilai kasih sayang.


Demikianlah, pun pekerjaan yang kita dapatkan adalah sebentuk kasih sayang dan rahmat dari Allah Swt. Telah sangat banyak kita mendapatkan kemudahan-kenudahan dari Allah, mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan bagi kita, yang nyaman dan sesuai dengan idealisme kita. Jadi sudah seharusnya kita berusaha sebaik mungkin untuk memuliakannya, sebagai wujud tanggung jawab atas amanah, sarana penyempurnaan ibadah, ungkapan rasa syukur, dan sebentuk cinta serta kasih sayang. Mengairi kembali ladang-ladang semangat kita dalam bekerja.